Entri Populer

Minggu, 13 Februari 2011

"Munir Said Thalib" Pahlawan orang hilang.


Munir Said Thalib (lahir di MalangJawa Timur8 Desember 1965 – meninggal di Jakarta jurusan keAmsterdam7 September 2004 pada umur 38 tahun) adalah pria keturunan Arab yang juga seorang aktivis HAM Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial.
Saat menjabat Dewan Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.
Jenazah Munir dimakamkan di Taman Pemakaman Umum, Kota Batu.
Istri Munir, Suciwati, bersama aktivis HAM lainnya terus menuntut pemerintah agar mengungkap kasus pembunuhan ini.  Munir Said Thalib, pejuang HAM Indonesia, tewas diracun arsenik dalam perjalanannya menuju Amsterdam dari Jakarta. Berbagai kemungkinan pihak dibalik pembunuhan sampai saat ini belumlah terungkap sepenuhnya. Aksi-aksi perjuangan pendiri KontraS (Komosi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan) ini, Munir, menjadi ‘musuh berbahaya’ bagi lawan-lawannya.

Kebencian para penguasa orde baru terhadap gerakan ‘human right’ Munir sangatlah beralasan. Mereka [penguasa] yang telah semena-mena menindas, membunuh, dan membantai rakyat kecil mendapat perlawanan keras dari Munir. Munir tanpa lelah terus mencari fakta dan realita untuk mengungkap kasus-kasus pembantaian orang dan rakyat yang tidak berdosa. Meskipun dirinya dan keluarganya menerima berbagai ancamam pembunuhan, Munir tetap melangkahkan perjuangannya dengan darah jadi taruhannya.
Kematian Munir di pesawat Garuda pada 7 September 2004, menjadi kemenangan terbesar para penjahat kemanusiaan di negeri ini. Ada begitu banyak deretan nama-nama penguasa Orde Baru yang masih ‘berkeliaran bebas’ di negeri ini. Tidak hanya berkeliaran, bahkan tidak sedikit dari mereka menjadi ‘pahlawan’ yang dinantikan oleh masyarakat kita yang masih ‘melek realitas’.
Kronologis Pengadilan Munir
Munir, Sang Pilot Garuda
Orang pertama yang menjadi tersangka pertama pembunuhan Munir (dan akhirnya terpidana) adalah Pollycarpus Budihari Priyanto. Selama persidangan, terungkap bahwa pada 7 September 2004, seharusnya Pollycarpus sedang cuti. Lalu ia membuat surat tugas palsu dan mengikuti penerbangan Munir ke Amsterdam. Aksi pembunuhan Munir semakin terkuat tatkala Pollycarpus ‘meminta’ Munir agar berpindah tempat duduk dengannya. Sebelum pembunuhan Munir, Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior. Dan pada akhirnya, 20 Desember 2005 Pollycarpus BP dijatuhi vonis 20 tahun hukuman penjara.
Meskipun sampai saat ini, Pollycarpus tidak mengakui dirinya sebagai pembunuh Munir, berbagai alat bukti dan skenario pemalsuan surat tugas dan hal-hal yang janggal, membuktikan Pollycarpus adalah pihak yang telah menghabiskan nyawa ‘pahlawan HAM Indonesia”. Namun, timbul pertanyaan, untuk apa Pollycarpus membunuh Munir?? Apakah dia bermusuhan atau bertengkar dengan Munir?? Tidak ada historis yang menggambarkan hubungan mereka berdua.
Muchdi PR, Sang Agen Intelijen
Selidik demi selidik, akhirnya terungkap nomor yang pernah menghubungi Pollycarpus dari agen Intelinjen Senior adalah seorang mantan petinggi TNI, yakni Mayor Jenderal (Purn) Muchdi Purwoprandjono. Mayjen (Purn) Muchdi PR pernah menduduki jabatan sebagai Komandan Koppassus TNI Angkatan Darat yang ditinggali Prabowo Subianto (pendiri Partai Gerindra). Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Deputi Badan Intelijen Indonesia (CIA-nya Indonesia)
Muchdi PR ditangkap pada 6 Juni 2008. Lalu ia disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan pada awal Desember 2008, jaksa penuntut umum (JPU) kasus pembunuhan Munir menuntut Muchdi PR dihukum 15 tahun penjara. Muchdi PR terbukti menganjurkan dan memberikan sarana kepada terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto untuk membunuh Munir.
Jaksa juga memaparkan sejumlah fakta yang terungkap dari keterangan saksi, barang bukti, dan keterangan terdakwa selama 17 kali sidang. Di antaranya adalah surat dari Badan Intelijen Negara yang ditujukan kepada Garuda Indonesia pada Juni 2004 yang merekomendasikan Pollycarpus sebagai petugas aviation security. [hal aneh, mengapa BIN ikut campur urusan bisnis Garuda hingga merekomendasi Pollycarpus untuk ikut terbang 'bersama' Munir]
Budi Santoso [sebagai saksi] yang menyatakan pernah mendengar Pollycarpus disuruh Muchdi membunuh Munir. Jaksa juga menunjuk bukti transaksi panggilan dari nomor telepon yang diduga milik Pollycarpus ke nomor yang diduga milik Muchdi, atau sebaliknya, yang tercatat dalam call data record. Selain itu, dalam persidangan Muchdi PR memberikan keterangan berubah-ubah dan beberapa kali bertindak tidak sopan.
Usaha para jaksa membongkar kasus pembunuhan dan menuntut pelaku pembunuh kandas ditangan majelis hakim PN Jakarta Selatan yang diketuai Suharto. Tanggal  tanggal 31 Desember 2008, majelis hakim menvonis bebas Muchdi Pr atas keterlibatannya dalam pembunuhan aktivis HAM – Munir. Kurangkah bukti di pengadilan? Ataukah ada rupiah atau ancaman yang diterima oleh para ‘penegak hukum’ di institusi peradilan kita???
Inikah keputusan yang adil bagi perjuangan keadilan dan hak asasi manusia, tatkala Pollycarpus BP terbukti membunuh atas ‘bimbingan’ BIN dan telah divonis 20 tahun penjara?
Langkah Hukum
Meski ditengah krisis kepercayaan institusi hukum di negeri ini, pihak berwajib harus mengajukan kasasi ke lembaga hukum lebih tinggi atas putusan bebas tersebut. Karena jika putusan bebas, dapatkah kita mencari dalang pembunuh sebenarnya?
Menurut saya, yang pasti Pollycarpus hanyalah ‘alat’ yang digunakan oleh pihak penguasa, dalam hal ini mantan terdakwa Muchdi PR. Disisi lain, saya melihat bahwa Muchdi PR bukanlah satu-satunya orang dibalik pembunuhan Munir. Saya berkeyakinan bahwa Muchdi PR hanyalah rekanan dari penguasa lain yang menginginkan agar Munir dieksekusi. Siapakah itu?
Untuk menelusuri hal tersebut, saya akan berusaha mencari referensi kasus-kasus besar dan penting yang ditangani oleh Munir, terutama kasus pelanggaran HAM yang dilakukan pihak penguasa Orde Baru.
Ada beberapa kasus penting yang pernah ditangani oleh (alm) Munir yang memungkinkan [menurut opini saya] mereka/pihak yang berseberangan dengan Munir memiliki niat untuk menghabisi nyawa Munir. Dan kita tahu bahwa, banyak saksi, pembela, jaksa dinegeri ini ditindas, diancam bahkan dibunuh oleh para tersangka ‘penjahat, perampok,pembunuh’. Sebut saja, hakim Agung, M. Syafiuddin Kartasasmita, yang dibunuh atas perintah Tommy Soeharto, karena sedang mengadili kasus korupsinya.
Berikut daftar kasus ‘penting dan berbahaya’ yang ditangani Munir:
– Penasehat Hukum masyarakat Nipah, Madura, dalam kasus permintaan pertanggungjawaban militer atas pembunuhan tiga petani Nipah Madura, Jawa Timur; 1993
– Penasehat Hukum dalam kasus hilangnya 24 aktifis dan mahasiswa di Jakarta; 1997-1998
– Penasehat Hukum dalam kasus pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat sipil di Tanjung Priok 1984; sejak 1998
– Penasehat Hukum kasus penembakan mahasiswa di Semanggi, Tragedi 1 dan 2; 1998-1999
– Anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur; 1999
Usaha Mencari “Induk Semang” Penculikan
Kita tahu bahwa mereka yang berjuang melawan pemerintah yang tiran di zaman orde baru akan dihilangkan [dihabisi]. Dari tahun 1997-1998, tercatat minimal ada 24 orang aktivis dan mahasiswa yang ditangkap oleh pasukan khusus era Soeharto hingga saat ini dinyatakan hilang [dihilangkan oleh penguasa]. Jika di era 80-an dan awal 90-an dikenal Petrus, maka menjelang kerusuhan Mei 1998, untuk membendung aksi anti-pemerintah Soeharto, maka Soeharto pun menyiapkan ‘keamanan’ yang lebih khusus.
Salah satu divisi ‘loreng’ yang bertindak ‘mengamankan’ situasi adalah Kopassus dengan TIM MAWAR-nya. Ratusan aktivis ditangkap dan disiksa, serta sebagian “top of the top activist” hilang bak ditelan bumi. Terutama mereka yang ‘suka’ berbicara HAM kepada pemerintah. Salah satu tokoh yang saya angkat adalah Wiji Thukul, seorang sastrawan puisi.


Wiji Thukul
Wiji Thukul
Wiji Thukul, terkenal dengan puisi yang ‘menyayat wibawa pemerintah’ karena berisi kritikan terhadap ketidakadilan dan pengingkaran harkat dan martabat manusia. Semenjak Tragedi 27 Juli 1996, ia menjadi buruan aparat. Akibat suaranya yang vokal, selama hampir 6 bulan, ia terpaksa menghindar dari kejaran aparat [kalau tertangkap, yah......habiiiiss!]. Ia tidak bisa pulang. Keadaan memaksanya untuk pergi, berlari tanpa bisa berhenti, menyelamatkan diri dengan meninggalkan istri dan kedua anaknya. Dan suara seorang suami, masih terdengar terakhir kali oleh istrinya pada Februari 1998 (6 bulan setelah Tragede 27 Juli). Setelah itu…ia ‘hilang’ dan sangat mungkin dihilangkan.
Biografi Wiji Thukul 

Tak pelak lagi, Munir pun salah satu korban, ‘anak manusia’ yang terlalu ‘galak’ kepada pemerintah yang tiran. Alm. Munir tahu betul siapa pelaku Tragedi 27 Juli 1997, dan siapa dibalik penangkapan aktivitis yang menyeret ‘petinggi orba’. Meski pada saat itu ia belum punya bukti-bukti lengkap untuk menjebloskan para ‘tiran’, dan hingga  sebelum ajal menjemputnya, Alm. Munir terus berjuang membela para korban dengan mengumpul sebanyak mungkin bukti dan saksi. Dan hingga saat ini pun, lembaga ‘adhyaksa’ [pengadilan] kita belum mampu mengungkap tragedi 27 Juli karena kekurangan bukti, saksi yang bungkam hingga masih kuatnya pengaruh oknum orba di saat ini…..
Dari uraian di atas, kita pun bisa menduga-duga, siapa sih pelaku penculikan? Siapa sih yang merasa terancam jika Munir masih bisa bernafas, menatap, dan berbicara? Selama lebih 6 tahun kejatuhan rezim Orba akhirnya Munir, pihak yang terancam sudah pasti mencari momen yang tepat untuk menghabisi ‘pahlawan HAM’ tersebut. Akhirnya, 1 bulan menjelang pelantikan Presiden terpilih SBY Oktober 2004, pada tanggal 7 September 2004 Munir tewas diracun.
“Institusi Penculikan”
Belajar dari pengalaman masa lalu, duga-dugaan kita akan semakin mengerucut pada beberapa tokoh dibalik peristiwa pelanggaran HAM di tahun 1997-1998. Petinggi-petinggi yang menguasai tampuk kekuasaan yang ‘memungkinkan’ melakukan ‘agresi’ pada rakyat kecil, adalah MILITER. Siapakah petinggi militer yang berpotensi sebagai tersangka penculikan, pembunuhan?
Hanya ada beberapa yang sangat berpontensi yakni Kopassus ataupun Kostrad. Hanya ada 2 kemungkinan yang sangat menonjol : Komando Pasukan Khusus atau Komando Strategis Angkatan Darat. Di era Soeharto, hierarki Kopassus dan Kostrad bisa langsung ‘dibisikkan’ oleh Presiden, tanpa ‘bersungkem’ kepada Pangab yang dijabat Jendral Wiranto.
Dan sudah menjadi rahasia umum, bahwa institusi yang bertanggung jawab langsung atas penculikan para aktivis dan mahasiswa yang vokal pada saat itu adalah “TIM MAWAR“, suatu tim khusus yang dibentuk oleh KOPASSUS yang dipimpin oleh Letnan Jendral Prabowo Subianto, Sang menantu Soeharto pada saat iu. Sedangkan yang bertanggungjawab mengendalikan aksi demonstrasi Mahasiswa pada Mei 1998 salah satunya adalah campur tangan satuan Kostrad yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Muchdi PR. Setelah Prabowo dicopot dari Kopassus, maka posisi ini akhirnya dipegang oleh Muchdi PR.
Sehingga wajar, jika sebagian kecil masyarakat beropini bahwa “para petinggi Kopassus bertanggung jawab terhadap penculikan” dan “para petinggi yang merasa terancam atas desakan hukum atas penculikan adalah ‘otak’ pembunuhan Munir”. Opini sederhana yang ditarik oleh masyarakat awam dari sebuah kisah kelam yang sedikit demi sedikit terbongkar. Tetapi, namanya politik, intrik dan kekejaman memang sulit untuk ditebak maupun sulit untuk diduga, apalagi dibuktikan dalam waktu seumur jagung.
Jadi, wajarkah jika beberapa orang berpendapat bahwa “petinggi  institusi yang terlibat atas dua kasus tragedi ’98 (penculikan dan pembunuhan)  tersebut” yang menjadi tokoh intelektual pembunuhan Munir. Dua institusi tersebut, tak lain-tak bukan : Koppasus, dan Kostrad.  Sah-sah saja, jika ada yang berpendapat seperti itu. Tetapi, karena negara kita adalah negara hukum, maka masyarakat kita pun dibatasi agar tidak menuduh orang yang belum ada bukti bersalah sebagai pelaku. Yang hanya bisa dilakuan masyarakat adalah menduga. Ingat masih menduga [jadi masih diwilayah abu-abu].
Meskipun demikian, opini sebagian masyarakat perlu dicermati mendalam, tatkala  saat ini, para mantan petinggi “Institusi militer yang bermasalahan tersebut” yakni Prabowo dan Muchdi begitu akrab serta bersama-sama mendirikan Partai Gerindra.  (Prabowo sebagai Ketum dan Muchdi PR sebagai Waketum).
Sehingga timbul pertanyaan mungkinkah kedua mantan ini terlibat??? [terlibat dalam pembunuhan Munir]
Just an opinion. Not an incrimination.
-opini kritis–by echnusa – 4 Jan 2009
Lamp I : Kisah Tokoh ‘Harapan Petani Indonsia” –  Prabowo
Pada 1995 ia dipercaya sebagai Komandan Jendral Kopassus. Pada saat itulah, Prabowo diduga mendalangi penculikan dan penghilangan paksa terhadap sejumlah aktivis,  yang dilakukan oleh sebuah tim yang disebut Tim Mawar. Hingga kini para korban masih belum ditemukan.
Pada 1998, Prabowo ditunjuk menjadi Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Tapi, jabatan ini tak lama dipegangnya, karena keburu meletus peristiwa Mei 1998.  Peristiwa Mei banyak dipercaya sebagai sebuah skenario dari kekuatan militer, yang  menurut kontroversi, melibatkan polemik internal militer, antara Prabowo dengan Panglima ABRI Wiranto.
Akibatnya Prabowo dipindah tugaskan menjadi Komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI. Melalui sidang pertimbangan Dewan Kehormatan Perwira (DKP), Panglima ABRI memberhentikan Letnan Jenderal Prabowo dari dinas kemiliteran.
Setelah dinonaktifkan dari militer, Prabowo pergi ke Yordania. Di sana  ia memperoleh status kewarganegaraan setempat , dan diperlakukan dengan baik oleh Raja Yordania, temannya saat mengikuti pelatihan militer. Setelah melewati masa sulit di Yordania, Prabowo beralih menjadi pengusaha. Tiga tahun kemudian, November 2001,  ia kembali ke Indonesia.
Pada pilpres 2004, Prabowo ikut dalam konvensi Partai Golkar, tapi kandas diputaran ke-dua konvensi partai tersebut. Dengan kecerdasannya, Prabowo langsung tancap gas, ia mencari organisasi yang diinginkan oleh rakyat agar jalan menuju Istana menjadi kincrong. Yah…HKTI lah kendaraan utamanya untuk mendapat citra positif dari rakyat. Ia dipilih menjadi Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) pada 5 Desember 2004. Ia menggantikan  Siswono Yudo Husodo yang sebelumnya mengunakan HKTI untuk menjadi Cawapres bersama Amien Rais pada pilpres 2004.
Lamp II : Catatan Suram Kopassus di Tahun 1998*
– Pada tahun 1998, Kopassus dituding [sulit untuk membuktikan] dengan ertanggung jawab terhadap kegiatan penculikan dan penghilangan nyawa beberapa aktivis pro demokrasi yang dilakukan Tim Mawar.
– Keterlibatan peristiwa Mei 1998. Banyak hasil penelitian tim pencari fakta independen menemukan adanya organisasi terstruktur rapi dalam militer yang dengan sengaja dan maksud tertentu menyulut kerusuhan massa di Jakarta dan Surakarta (kedua kota tersebut secara kebetulan adalah daerah basis/markas Kopassus, yaitu Cijantung-Jakarta dan Kandang Menjangan-Surakarta).
–Pada 2007 masalah Tim Mawar ini kembali mencuat ke permukaan melihat kenyataan bahwa 11 tentara yang terlibat (6 di antaranya dipecat pada 1999), ternyata tidak jadi dipecat tetapi tetap meniti karir, naik pangkat dan beberapa diketahui memegang posisi-posisi penting seperti Dandim dengan pangkat kolonel. Panglima TNI menyatakan hanya 1 dari 6 perwira tersebut yang benar-benar dipecat.
Terima kasih kawan!
Anda telah mengorbankan darah dan nyawa untuk berjuang dan menghadang mereka yang telah menindas, menyengsarakan, memborgol suara, dan membunuh hak-hak hidup dan berwarganegara.Munir Said Thalib

Marsinah: Inspirasi bagi Perjuangan Kelas Buruh

Buruh belum mendapatkan keadilan sejati dari pemerintah. Buruh harus menyatukan kekuatannya. buruh harus bersatu, buang kepentingan individu, dan kedepankan kepentingan buruh dan rakyat.” Marsinah (1969-1993)
Suasana kota yang penuh dengan persaingan telah membuat setiap orang yang tinggal di dalamnya untuk menjadi keras. Apalagi kehidupan buruh-buruh di pabrik yang setiap hari dikejar-kejar target produksi yang telah ditetapkan sepihak oleh pengusaha demi laba mereka sendiri. Maka menjadi tidak mengherankan bahwa Marsinah, gadis desa yang lugu, lalu tidak canggung berdiri di barisan terdepan pengunjuk rasa dalam memperjuangkan nasib buruh. Sebuah keberanian telah menggusur kepasrahan pada nasib!
17 tahun telah berlalu semenjak tragedi pembunuhan Marsinah dan belum ada perubahan yang fundamental bagi kesejahteraan buruh. Sekarang kehidupan kaum buruh justru semakin parah dan semakin tidak jelas. Kepastian kerja dan penghidupan yang layak bagi buruh masih jauh dari harapan. Ini bisa dilihat dari banyaknya kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada pada buruh.
Di masa rejim Orde Baru ketika buruh menuntut kesejahteraan dan melakukan mogok kerja, mereka selalu berhadapan dengan tentara. Setelah kejatuhan rejim Orde Baru pada tahun 1998, hampir semua orang berharap akan adanya perubahan terhadap kebijakan pemerintah di sektor perburuhan. Namun yang terjadi justru kebalikannya. Dalam memperjuangkan kesejahteraanya sekarang buruh tidak lagi berhadapan dengan moncong senjata (walau kadang-kadang masih ada aksi kekerasan terhadap buruh yang berjuang), tapi dihadapkan pada kebijakan-kebijakan neo-liberalisme pemerintah Indonesia. Pasar bebas semakin merajalela di Indonesia dan ini menjadi rantai yang membelenggu rakyat pekerja dan mengeksploitasinya dengan semakin kejam di roda-roda mesin pabrik.
Pengetahuan Mengubah Nasib
Marsinah lahir tanggal 10 April 1969. Anak nomor dua dari tiga bersaudara ini merupakan buah kasih antara Sumini dan Mastin. Sejak usia tiga tahun, Marsinah telah ditinggal mati oleh ibunya. Bayi Marsinah kemudian diasuh oleh neneknya—Pu’irah—yang tinggal bersama bibinya—Sini—di desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur.
Pendidikan dasar ditempuhnya di SD Karangasem 189, Kecamatan Gondang. Sedang pendidikan menengahnya di SMPN 5 Nganjuk. Sedari kecil, gadis berkulit sawo matang itu berusaha mandiri. Menyadari nenek dan bibinya kesulitan mencari kebutuhan sehari-hari, ia berusaha memanfaatkan waktu luang untuk mencari penghasilan dengan berjualan makanan kecil.
Di lingkungan keluarganya, ia dikenal anak rajin. Jika tidak ada kegiatan sekolah, ia biasa membantu bibinya memasak di dapur. Sepulang dari sekolah, ia biasa mengantar makanan untuk pamannya di sawah. “Dia sering mengirim bontotan ke sawah untuk saya. Kalau panas atau hujan, biasanya anak itu memakai payung dari pelepah pisang,” kenang Suradji, pamannya Marsinah sambil menerawang. Berbeda dengan teman sebayanya yang lebih suka bermain-main, ia mengisi waktu dengan kegiatan belajar dan membaca. Kalaupun keluar, paling-paling dia hanya pergi untuk menyaksikan siaran berita televisi.
Ketika menjalani masa sekolah menengah atas, Marsinah mulai mandiri dengan mondok di kota Nganjuk. Selama menjadi murid SMA Muhammadiyah, ia dikenal sebagai siswa yang cerdas. Semangat belajarnya tinggi dan ia selalu mengukir prestasi dengan peringkat juara kelas. Jalan hidupnya menjadi lain ketika ia terpaksa harus menerima kenyataan bahwa ia tidak punya cukup biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, seperti juga nasib jutaan anak sekolah di Indonesia yang tidak mampu menyelesaikan sekolahnya karena tidak punya biaya.
Kondisi keluarga yang miskin membuat Marsinah meninggalkan desanya, sebuah langkah hidup yang sulit terelakan. Kesempatan kerja di pedesaan semakin sempit. Kerja sebagai buruh tani makin kecil peluangnya. Sekarang ani-ani—alat tradisional penuai padi—sudah berganti dengan sabit yang lebih efisien dan tidak memerlukan jumlah tenaga kerja sebanyak sebelumnya. Perkembangan teknologi, bukannya meningkatkan kesejahteraan rakyat, justru semakin menyingkirkan para buruh tani. Tidak mengherankan, bau keringat bercampur tanah sawah sudah tidak lagi memenuhi udara pedesaan. Lenguhan sapi yang kelelahan membajak tanah semakin jarang terdengar. Ia telah disingkirkan oleh deru mesin traktor.
Ujungnya adalah tidak ada pilihan lagi selain pergi ke kota. Maka ia berusaha mengirimkan sejumlah lamaran ke berbagai perusahaan di Surabaya, Mojokerto, dan gresik. Akhirnya ia diterima di pabrik sepatu BATA di Surabaya tahun 1989 dan memulai kehidupannya sebagai buruh seperti halnya jutaan kaum tani yang terseret ke pabrik-pabrik karena kemiskinan yang parah di pedesaan. Setahun kemudian ia pindah ke pabrik arloji Empat Putra Surya di Rungkut Industri, sebelum akhirnya ia pindah mengikuti perusahaan tersebut yang membuka cabang di Siring, Porong, Sidoarjo. Marsinah adalah generasi pertama dari keluarganya yang menjadi buruh pabrik.
Kegagalan meneruskan ke perguruan tinggi bukannya membuat semangat belajarnya padam. Marsinah berkeyakinan bahwa pengetahuan itu mampu mengubah nasib seseorang. Semangat belajar yang tinggi tampak dari kebiasaannya menghimpun berbagai informasi. Ia suka mendengarkan warta berita, baik lewat radio maupun televisi. Minat bacanya juga tinggi. Pada waktu-waktu luang, ia seringkali membuat kliping koran. Malahan untuk kegiatan yang satu ini ia bersedia menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membeli koran dan majalah bekas, meskipun sebenarnya penghasilannya pas-pasan untuk menutup biaya hidup.
Marsinah Berjuang
Ia dikenal sebagai seorang pendiam, lugu, ramah, supel, ringan tangan dan setia kawan. Ia sering dimintai nasihat mengenai berbagai persoalan yang dihadapi kawan-kawannya. Kalau ada kawan yang sakit, ia selalu menyempatkan diri untuk menjenguk. Selain itu ia seringkali membantu kawan-kawannya yang diperlakukan tidak adil oleh atasan. Ia juga dikenal sebagai seorang pemberani.
Paling tidak dua sifat yang terakhir disebut—pemberani dan setia kawan—inilah yang membekalinya menjadi pelopor perjuangan. Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya)—pabrik tempat kerja Marsinah—menyambut dengan senang hati kabar kenaikan upah menurut Surat Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok, namun himbauan ini tidak digubris oleh PT. CPS karena jelas akan membuat rugi perusahaan dan ini menimbulkan keresahan di antara para buruh.
Keresahan tersebut akhirnya berbuah perjuangan. Pada tanggal 3 Mei 1993 buruh PT. CPS mogok kerja dan menuntut kenaikan upah seusai dengan Surat Edaran Guberner Jawa Timur. Sebagian buruh bergerombol dan mengajak teman-teman mereka untuk mogok kerja. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untuk mencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak mogok.
Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga pabrik menghalang-halangi para buruh shift II dan shift III. Tidak ketinggalan, para satpam juga mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa.
Berakhirkah pertentangan antara buruh dengan pengusaha? Ternyata tidak! Tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu diterangkan dalam surat dari kelurahan Siring. Tanpa babibu, tentara mendesak agar ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di tempat yang sama. Sungguh! Hukum menjadi kehilangan gigi ketika senapan tentara ikut bermain.
Marsinah sadar betul bahwa peristiwa yang menimpa kawan-kawannya, dan juga dirinya sendiri, adalah suatu keniscayaan di negeri milik pengusaha ini. Dari kliping-kliping surat kabar yang diguntingnya, dari keluhan-keluhan kawan-kawannya se pabrik, dari kemarahan-kemarahan dan teriakkan, dan dari apa yang ia lihat dengan mata kepala sendiri, semuanya memberinya pengetahuan tentang ketidakberesan  dalam masyarakat Indonesia.
Marsinah, dengan semangat kesetiawakawannya, mendatangi Kodim Sidoarjo sendirian pada hari itu juga untuk menanyakan nasib 13 rekannya yang dibawa ke sana. Sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Kawan-kawan Marsinah tidak mengetahui keberadaannya sampai tanggal 9 Mei, ketika mayat Marsinah ditemukan.
Dagelan-dagelan penyelidikan pun berlangsung tanpa seorang pun yang dikenai hukuman. Dari rejim Soeharto, Gus Dur, hingga Megawati,  kematian Marsinah dicoba diangkat lagi ke permukaan, tetapi kejelasan hukum tetap nihil. Hukum di negeri yang ‘demokratis’ ini seakan terkubur bersama dengan jasad Marsinah. Walaupun tidak ada seorangpun yang berhasil dibawa ke pengadilan, akan tetapi rakyat pekerja sudah tahu siapa yang bersalah dan rakyat pekerja tidak memerlukan sidang pengadilan borjuis untuk memberitahunya siapa yang bertanggungjawab atas kematian Marsinah. Para kapitalislah yang bersalah, beserta cecunguk-cecunguk mereka di kepolisian, pengadilan, gedung DPR, TNI, dll. Vonis buruh sudah dijatuhkan dengan ketekadan mereka untuk berjuang menghancurkan kapitalisme dan membawa sosialisme ke muka bumi Indonesia.
Marsinah, Inspirasi Buruh
Marsinah adalah sosok perjuangan yang telah dihancurkan oleh rejim penguasa yang takut dan kawatir akan bangkitnya perlawanan buruh. Namun jiwa dan semangat Marsinah tidak bisa dipenjara. Jiwanya akan membumbung tinggi untuk berubah menjadi lidah-lidah api yang akan menghanguskan segala bentuk ketidakadilan.
Anak-anak desa yang menemukan Marsinah, dan juga kita semua, sudah menjadi saksi. Sekarang dan esok, kita akan terus bersaksi dan bercerita tentang ketidakadilan yang rampan di bumi Indonesia, tentang gugurnya seorang buruh pejuang, tentang buruh perempuan yang tidak takut kehilangan nyawanya demi keyakinannya untuk keadilan buruh. Mari kita kenang Marsinah dengan menyingsingkan lengan baju kita untuk memperjuangkan sosialisme sebagai satu-satunya jalan keluar dari kesengsaraan kapitalisme.